Fall Leaves

JavaScript Free Code

Clock

Thursday, May 16, 2019

Sejarah Masuknya Agama Islam di Indonesia


Indonesia merupakan negara kesatuan dengan masyarakat yang mayoritas beragama Islam (muslim), dan merupakan negara dengan mayoritas terbesar ummat muslim di dunia. Berdasarkan data dari Sensus Penduduk pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 87,18 % atau 207 juta jiwa dari total 238 juta jiwa penduduk Indonesia beragama Islam. Walaupun Islam adalah agama mayoritas, tetapi negara kita ini tidak berasaskan Islam.
Pada tulisan ini, saya akan membahas seputar sejarah bagaimana agama islam bisa masuk dan berkembang di Indonesia sampai saat ini.
Tiga Teori Masuknya Islam ke Indonesia
1. Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India bagian barat, berdekatan dengan Laut Arab.
Tokoh yang menyosialisasikan teori ini kebanyakan adalah sarjana dari Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah J. Pijnapel dari Universitas Leiden pada abad ke-19. Menurutnya, orang-orang Arab bermazhab Syafei telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriyyah (abad ke7 Masehi), namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur, termasuk Indonesia.
Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif ” di depan namanya.
Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912) yang memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat.
Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mazhab Syafi’i yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.
Dalam perkembangannya, teori Gujarat dibantah oleh banyak ahli. Bukti-bukti yang lebih akurat seperti berita dari Arab, Persia, Turki, dan Indonesia memperkuat keterangan bahwa Islam masuk di Indonesia bukan dibawa pedagang Gujarat.

2. Teori Makkah
Teori Makkah mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia adalah langsung dari Makkah atau Arab. Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Tokoh yang memperkenalkan teori ini adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau HAMKA, salah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia.
Hamka mengemukakan pendapatnya ini pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan pada dies natalis Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia menolak seluruh anggapan para sarjana Barat yang mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia tidak langsung dari Arab. Bahan argumentasi yang dijadikan bahan rujukan HAMKA adalah sumber lokal Indonesia dan sumber Arab.
Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilai nilai ekonomi, melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh sebelum tarikh masehi.
Dalam pandangan HAMKA, orang-orang Islam di Indonesia mendapatkan Islam dari orang- orang pertama (orang Arab), bukan dari hanya sekadar perdagangan. Pandangan HAMKA ini hampir sama dengan Teori Sufi yang diungkapkan oleh A.H. Johns yang mengatakan bahwa para musafirlah (kaum pengembara) yang telah melakukan islamisasi awal di Indonesia. Kaum Sufi biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendirikan kumpulan atau perguruan tarekat.
3. Teori Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari daerah Persia atau Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam memberikan argumentasinya, Hoesein lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia.
Kesamaan budaya ini dapat dilihat pada masyarakat Islam Indonesia antara lain:
pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang berkembang dalam tradisi tabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah “tabut” (keranda) diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa Parsi.
Kedua, Tradisi lainnya adalah ajaran mistik yang banyak kesamaan, misalnya antara ajaran Syekh Siti Jenar dari Jawa Tengah dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia. Bukan kebetulan, keduanya mati dihukum oleh penguasa setempat karena ajaran-ajarannya dinilai bertentangan dengan ketauhidan Islam (murtad) dan membahayakan stabilitas politik dan sosial.
Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja bahasa Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Qur’an tingkat awal. Huruf Sin yang ridak bergigi berasal dari Persia, sedangkat Sin bergigi berasal dari Arab.
Keempat, nisan pada makam Malikus Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini, Teori Persia memiliki kesamaan mutlak dengan teori Gujarat.
Kelima, Alasan lain yang dikemukakan Hoesein yang sejalan dengan teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni kaligrafi pahat pada batu-batu nisan yang dipakai di kuburan Islam awal di Indonesia. Kesamaan lain adalah bahwa umat Islam Indonesia menganut mazhab Syafei, sama seperti kebanyak muslim di Iran.
Namun, teori ini sukar untuk diterima oleh K.H. Saifuddin Zuhri sebagai salah satu peserta seminar (1963). Alasan yang dikemukakannya adalah jika kita berpedoman kepada masuknya agama Islam ke Indonesia pada abad ke-7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Ummayah. Saat itu kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan berada di tangan bangsa Arab, sedangkan pusat pergerakan Islam berkisar di Makkah, Madinah, Damaskus, dan Baghdad, Jadi belum mungkin Persia menduduki kepemimpinan dunia Islam.

0 comments:

Post a Comment